Senin, 06 Maret 2023

Mari Belajar Di Akademi Pernikahan

 

pict: www.greenrabbitflowers.co.uk

Mungkin sejak setahun belakangan, mulai bermunculan Majelis Taklim yang menawarkan kajian mendalam berseri tentang persiapan pernikahan. Jika diamati, “akademi” penggonjlok para single ini biasanya membahas beberapa materi. Mulai dari tips dan trik memilih calon pasangan hidup, visi misi pernikahan, persiapan ilmu setelah menikah seperti ilmu menyiapkan diri sebagai suami atau istri, hingga ke persiapan finansial dan ilmu  mendidik anak. Pembicara materi-materi ini juga kompeten , beberapa di antaranya sudah banyak dikenal. Calon peserta biasanya diminta membayar sejumlah uang sebagai investasi. Ada yang diadakan online, ada pula yang offline. Beberapa kali saya pun dikirimi panitia kajian sejenis, mengajak untuk ikut serta sekaligus membantu menyebarkan informasi kajian mereka.

Terdorong Untuk Belajar

Kemunculan kajian-kajian pra-nikah ini jarang ada di zaman saya dulu. Kalaupun ada, gebyarnya mungkin tak sesemarak sekarang karena tempat-tempat penyelenggara kajian pun belum terlalu banyak. Obrolan tentang “menikah” saat kuliah atau setelah lulus sekalipun, nampaknya hanya menjadi obrolan diam-diam antar teman dekat saja 😊. Kadang ada rasa malu atau segan saat mengikuti kajian pranikah apalagi jika masih di awal-awal tahun kuliah. Seperti khawatir dicap “kebelet nikah” haha..

Ilmu pranikah biasanya didapat melalui majalah-majalah islam atau buku. Salah satu buku yang meledak di masa saya adalah buku Kupinang Engkau Dengan Hamdallah karya Ustadz Muhammad Faudhil Adzim. Saya ingat saat kuliah dulu ada pula sebuah majalah islam yang membahas tentang pernikahan kira-kira judulnya serupa dengan buku fenomenal itu. Wah… kayaknya hampir semua teman saya – di Rohis Fakultas -membicarakannya. Konon majalah itu laku keras dan majalah nomor itu mendadak sulit didapat di lapak-lapak koran.

Saat kini informasi sudah semakin mudah didapat, kesadaran tentang perlunya membekali diri sebelum menikah juga semakin besar. Kalau dulu generasi lama belajar soal pernikahan langsung dari hasil melihat rumah tangga orang tua dan saudara, kini kita seolah bisa “melongok” langsung pernikahan orang banyak dari media sosial. Baik buruknya pernikahan dari hasil menyimak, mendengar dan menonton ini jadi pembelajaran tidak langsung bagi generasi kini hingga terdorong untuk merasa perlu menyiapkan diri lebih baik lagi sebelum benar-benar menjalaninya sendiri.

 

Tak Melulu Dengan Teori

Adanya kajian-kajian pranikah ini tentunya perlu diapresiasi dan disambut baik. Dalam Islam, pernikahan tak sekedar menyatukan dua insan dalam sebuah lembaga halal. Lebih jauh lagi, menikah adalah ibadah. Menjalaninya tentunya tak cukup hanya bermodal niat, keseriusan apalagi sekedar cinta tapi juga butuh ilmu.

Tak ada salahnya para jomblowan jomblowati mengikuti kajian-kajian ini. Namun menurut saya pada akhirnya saat menjalani pernikahan sesungguhnya kita tak hanya bisa berpegang pada teori. Seperti halnya ilmu-ilmu lain, kadangkala teori menyatakan A namun saat menjalaninya kita harus melakukan B yang bisa jadi tidak pernah terbahas dalam teori yang kita pelajari. Kecuali panduan ilmu syar’I, kadangkala tidak ada teori pasti dalam menjalani sebuah pernikahan. Banyak faktor lain yang membuat kita mampu mengarungi pernikahan itu.

Ilmu yang diperoleh dalam kajian-kajian itu sesungguhnya adalah salah satu modal saja. Selanjutnya, barengi lagi dengan tambahan ilmu-ilmu lain. Banyak bertanya, berdiskusi dengan “senior” juga banyak membantu. Tidak kaku, tidak teoritis namun tidak juga apatis dengan tawaran belajar di kajian-kajian ini.

 

Rabu, 26 Oktober 2022

Bernostalgia Lewat YouTube

Kayaknya bukan rahasia lagi kalau  di YouTube orang bisa menemukan rupa-rupa video bahkan dari tahun jadul sekalipun. Sebagai generasi lama, saya memanfaatkan web ini untuk memuaskan kesukaan saya mendengarkan lagu-lagu lawas yang dulu bahkan tak saya tahu video klipnya. Ini beberapa lagu "temuan" saya..


Lagu lama yang cukup dikenal pada tahun 94-an kalau tidak salah ingat. Waktu itu, Cindy sedang naik daun dengan lagunya yang lain, Aku Sayang Kamu. Tiba-tiba saya mendengar request lagu di radio dari teman sekolah saya. Ya ini lagunya.. Saya langsung suka walaupun sebenarnya lagunya nggak terlalu istimewa sih.. hehe..





Ini lagu yang selalu saya ingat. Saya suka lagu-lagunya Air Supply lalu membaca lirik lagu ini di majalah. Saya coba terjemahkan, kebetulan saya sedang semangat belajar Bahasa Inggris. Liriknya ternyata amat puitis. Sampai-sampai saya tuliskan khusus di buku lagu saya.. So.. memorable..

Dulu hanya pernah mendengar lagu soundtrack film ini di radio. Lalu saat menonton filmnya, Catatan Si Emon, di televisi, saya mendengar lagu ini lagI. Nggak pernah tahu siapa penyanyinya. Eh ternyata yang nyanyi Kris Dayanti masa masih remaja :) dan masih meniti awal karir. Hanya saja, saya itu ia masih menggunakan nama panggung, Dayanthie.





Mohon maaf kalau saya banyak membahas lagu 90-an ya... karena saat itu saya lagi senang-senangnya denger lagu, apalagi kalau lagi galau haha.. Ini salah satu lagu yang saya suka dari Titi DJ dari albumnya yang juga memuat lagu terkenal kala itu, Bintang-Bintang





Ini terhitung lagu paling "baru" yang saya bahas di sini. Terkenal di tahun 2002-an kalau tidak salah ingat. Lagu ini yang melambungkan nama Numata, trio musisi kakak beradik yang ternyata putra-putri penyanyi terkenal zaman dulu, Tety Kadi. Eh.. nggak tahu kenapa kok saya sempat suka sama vokalisnya.. Kayaknya cool gitu haha.. 

Selasa, 17 November 2020

Song-Song Couple : Cinta Yang Berubah

 

Song Joong Ki dan Song He Kyo nampak begitu ideal sebagai pasangan. Tak ada yang meragukan cinta Joong Ki yang mengakui telah lama mengagumi Hye Kyo. Lalu, mengapa cinta itu seolah hilang dengan cepat dan mereka tak mampu bertahan?

source: youtube


Tak bisa dipungkiri, sukses besar drama Korea Descendants Of The Sun pada 2016 tak lepas dari kecemerlangan akting para pemainnya. Chemistry yang terjalin di antara mereka mampu membuat drama ini nampak lebih real selain tentu saja membikin baper.  

Song Joong Ki dan Song He Kyo yang berperan sebagai sepasang kekasih dalam drama ini sukses membuat penonton termehek-mehek. Sebutan Song-Song couple muncul sebagai bukti betapa orang memuja keduanya. Akting mereka dalam drama itu dinilai jempolan sampai-sampai saat itu banyak fans yang mendoakan keduanya beneran berjodoh di dunia nyata. Banyak pula fans yang sengaja membuat video tentang mereka. Intinya sih mencocok-cocokkan keduanya agar beneran bisa bersatu. Apalagi katanya, Jong Ki nampak benar-benar suka dengan lawan mainnya yang cantik itu. Terang-terangan ia menunjukkan kekagumannya pada Hye Kyo walaupun saat itu Kyo nampak tak terlalu menanggapi.

Maka ketika Song-Song betul-betul menikah, yang paling girang adalah para fans mereka. Pernikahan keduanya bak dongeng yang jadi nyata. Yang satu ganteng yang satu cantik. Si pria nampak begitu memuja wanitanya. Si wanita juga nampak bahagia di hari pernikahannya. Setelah itu, para fans fanatik ini lalu berharap keduanya segera diberi momongan. Malah ada yang mereka-reka akan seperti apa bayi pasangan ini kelak. Sudah pasti akan serupawan ibu bapaknya, begitu kata para netizen yang sok tahu.

Tak dinyana, pernikahan mereka hanya seumur jagung. Dua puluh bulan setelah pernikahan menghebohkan itu, Joong Ki dan Hye Kyo mengumumkan perpisahan setelah publik sebelumnya sempat menerka-nerka hubungan mereka telah merenggang. Sampai kini, para fans tetap dibuat penasaran apa yang membuat pasangan yang nampak ideal ini memutuskan bercerai. Apakah karena kesibukan yang membuat mereka jarang bertemu, apakah Hye Kyo terlalu mandiri hingga merasa pernikahan itu membuatnya terkekang, apakah cinta tak cukup untuk mengikat keduanya?

Soal sebab pasti mengapa Song-Song berpisah, tentu hanya mereka yang tahu. Saya pun tak terlalu kepo mencari tahu karena apa urusan saya hehe.. Hanya saja, sebagai orang yang telah menikah, saya terpikir untuk membuat tulisan tentang pernikahan yang terinspirasi dari kisah keduanya berdasarkan pengalaman saya selama ini.

Cinta Yang Berubah

Saat masih muda, kita mengira bahwa cinta satu-satunya alasan tepat untuk bersama selamanya dengan seseorang. Siapa pula yang tak mau selalu dekat dengan yang dicinta? Rasanya, sesulit apapun, hidup akan terasa ringan jika dijalani dengan yang tercinta. Gula jawa aja bisa terasa kayak coklat, begitu perumpamaan perasaan orang yang sedang cinta-cintanya. Bahkan sifat atau karakter buruk pasangan pun termaafkan dengan mudah karena cinta kita yang besar kepadanya.

Di awal pernikahan, cinta mungkin masih mendominasi hari-hari kita. Memasuki hitungan bulan, kita akan dihadapkan pada realita sesungguhnya. Bahwa kebiasan buruk pasangan yang dulu kita maklumi jadi terasa menyebalkan, bahwa pasangan yang dulu romantis setelah menikah kita anggap tak lagi seromantis dulu, bahwa banyak hal yang mungkin dapat melunturkan cinta yang dulu menggebu, bahwa rutinitas bisa menciptakan kebosanan, bahwa kebiasaan keluarga besar kita dan pasangan yang berbeda bisa menyulut masalah baru, bahwa kesibukan masing-masing membuat kita dan pasangan merasa jauh.. Kehadiran anak (-anak) juga membuat hidup kita berubah. Waktu untuk berduaan jadi minim, prioritas hidup yang tak lagi sama, penampilan istri yang mungkin tak se-kinclong dulu dan seterusnya.

Mungkin cinta memang tak pergi kemana-mana. Ia masih ada namun telah bersalin rupa. Tak lagi berupa cinta yang menggebu yang membuat kita begitu bahagia saat sekedar bisa memegang tangan pasangan kita. Cinta, kata yang telah menjalani pernikahan lama, akan bertransformasi menjadi rasa respek. Kita mungkin tak lagi merasakan cinta bak remaja kasmaran tapi telah mewujud jadi cinta yang lebih dewasa.

Masalahnya, tak semudah itu pula mempertahankan cinta. Cinta yang ada jika tak dirawat akan pergi juga. Syukur jika hanya berubah wujudnya tapi jika hilang, perekat itu sudah tak lagi ada. Penyebabnya bisa beragam. Ingat, ketika menikah banyak faktor intern dan ekstern yang berpotensi menimbulkan konflik. Jika tak terselesaikan dengan baik, konflik akan terus terjadi. Kekecewaan, rasa marah dan semacamnya akan menumpuk dan menjelma jadi bom waktu yang siap meledak kapan saja dan perlahan melunturkan cinta. Semakin lama dibiarkan akan semakin banyak tumpukan “sampah” emosi itu.

Menghadapi ini, cinta jadi punya porsi yang tak terlalu besar lagi dalam kehidupan pernikahan. Kedewasaan, kelapangan hati, komunikasi punya peran yang jauh lebih penting. Belum lagi soal visi. Ini berhubungan dengan tujuan pernikahan. Mau dibawa kemana pernikahan kita dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pernikahan itu. Bisa jadi, di awal pernikahan kita punya visi yang sama dengan pasangan. Namun seiring waktu, bisa saja visi itu berbeda karena beragam sebab. Jika tak segera disamakan kembali, kapal rumah tangga bisa oleng dan karam.

Begitulah. Jika sebelum menikah Joong Ki sangat memuja wanitanya, amat berbinar ketika berada di sampingnya, setelah menikah semuanya bisa berubah. Mungkin cinta memang tak hilang. Namun jika tak dijaga, cinta jadi kalah oleh realita, tak mampu menyelamatkan kapal rumah tangga. Hye Kyo mungkin sama cintanya. Tapi banyak hal yang dialami setelah menikah juga bisa melunturkan cinta. Kalaupun cinta itu masih ada, terkadang jadi pertimbangan ke sekian jika merasa ada pelanggaran hal prinsip yang tak bisa lagi ditoleransi. Eh.. saya bukan sedang menganalisa penyebab retaknya mereka ya.. Hanya saja, hal-hal seperti di atas mungkin terjadi pada rumah tangga bintang atau rumah tangga siapapun dan dimanapun.

Saya percaya, pernikahan yang langgeng memerlukan perjuangan seumur hidup. Tak hanya bisa didapat dengan modal cinta dan niat ingin menikah saja. Beradaptasi terus menerus, penyamaan visi pernikahan terus menerus, mencari ilmu bersama terus menerus, adalah ikhtiar pernikahan awet. Tentu saja sembari terus berdo’a agar Allah melanggengkan pernikahan kita, berharap pernikahan itu tak hanya seumur jagung bagai Song-Song couple.

 

 

 

 


Wanita Indonesia Tumbuh Bersama Femina

 

Sebut satu majalah wanita, bisa jadi Femina jadi salah satu nama yang muncul di kepala. Majalah ini bagai “buku pedoman” yang wajib dibaca oleh para wanita khususnya di perkotaan dan memiliki banyak pembaca loyal.

  “Perkenalan” saya dengan Femina terjadi saat saya SMU. Saat itu, Mama saya sering membeli majalah ini. Saya yang suka baca ikut-ikutan melihat-lihat Femina. Saya menyukai majalah ini karena bahasanya yang enak dibaca selain artikel-artikelnya. Saya suka rubrik Kisah yang menceritakan kisah hidup publik figur dalam dan luar negeri. Yang saya sukai, Femina seringkali mampu mengorek sisi lain tokoh yang tak saya temui di media lain dengan bahasa khas Femina. Saya ingat pernah membaca kisah Marlyn Monroe, Ernest Hemmingway, Garin Nugroho, Ruth Sahanaya sampai Eko Patrio sempat saya baca di rubrik itu.

Rubrik Fiksi Femina juga jadi favorit saya selain Rubrik Gado-Gado. Tulisan pendek satu halaman yang mengangkat cerita sehari-hari ini termasuk banyak juga penggemarnya. Tulisan saya malah pernah 2 kali dimuat di rubrik Gado-Gado. Yang juga sering saya baca adalah Rubrik Tips-Tips Praktis seperti tips memasak atau tips berbusana. Femina juga seringkali mengangkat topik yang sedang in saat itu di rubrik Liputan Khas atau Rupa-Rupa, jadi wawasan saya juga bertambah.

Saat kuliah, saya hanya membaca Femina kalau pulang ke rumah. Nggak sanggup beli sendiri J.. Sampai akhirnya, saya menemukan koleksi Femina yang lengkap di sebuah tempat penyewaan bacaan. Femina jadi salah satu bacaan yang sering saya sewa. Saya lupa berapa harga sewanya saat itu. Kalau tak salah hanya 1500 rupiah per majalah. Kadang, saya bisa menyisihkan uang untuk membeli Femina baru. Koleksi Femina saya ada yang masih tersimpan rapi hingga kini, ada pula yang saya jual atau buang karena saat itu saya harus pindah rumah.

 

Femina Edisi Perdana 
       (source: ensiklopedia sastra Indonesia

Sejarah Femina

Perjalanan Femina menjadi sahabat wanita Indonesia ditandai dengan terbitnya edisi perdana majalah ini, bersampul seorang wanita bertangan 10 dan anaknya pada 18 September 1972. Edisi newborn itu sudah menampilkan artikel tentang tren belajar membatik, mode, make up, sampai trik pencahayaan dan warna untuk interior rumah.

Tiga wanita pendiri Femina, Mirta Kartohadiprojo, Widarti Gunawan dan Atika Makarim bermimpi untuk dapat lebih memberdayakan, meningkatkan kesejahteraan serta memperbaiki kualitas wanita itu sendiri. Bukan hal mudah bagi Femina membuka jalan itu karena di awal Femina terbit situasi jauh berbeda dengan sekarang. Kiprah wanita di ruang publik terhitung jarang. Masih ada norma tertentu yang memosisikan wanita sebagai pihak yang tak berdaya.

Sejak awal, Femina telah berhasil menarik keingintahuan pembacanya. Kata Widarti, majalah ini di mata pembacanya seperti kamus serba ada, yang bisa ditanyai mulai dari soal rumah tangga sampai soal menjahit baju. Dulu, Redaksi Femina yang berkantor di garasi kediaman Pia Alisjahbana di Jalan Sukabumi Menteng sering kebanjiran pertanyaan. Pada masa itu, saluran komunikasi hanya ada 2: melalui telepon dan surat,

“Dari situlah, muncul ide untuk membuatkan acara buat pembaca. Tujuan awalnya sebetulnya untuk memindahkan rubrik populer Femina menjadi pertemuan.” Tutur Widarti.  Acara yang sudah digelar mengangkat topik beraneka rupa mulai dari kuliner, gaya hidup, hobi hingga fashion.

Femina menyapa pembacanya sebagai wanita aktif bukan wanita karier atau wanita bekerja. Kendati dulu belum banyak wanita yang menjadi wirausaha, namun Femina sudah menyadari wanita pun bisa berpenghasilan sendiri tanpa harus ke kantor. Di kemudian hari, Femina bahkan membidani event yang menjadi “penemu” para wirausahawan wanita sukses melalui Lomba Wanita Wirausaha, maupun mengadakan beragam seminar wirausaha.

Event lain yang juga digagas Femina dan para alumninya dikenal luas adalah Wajah Femina, Lomba Perancang Mode (LPM), Lomba Perancang Aksesoris serta Lomba Cerpen dan Cerber Femina. Wajah Femina misalnya telah menelurkan banyak publik figur berprestasi, tak hanya di bidang modelling namun juga bidang lain seperti dunia hiburan dan jurnalistik.

Femina pun menggagas Jakarta Fashion Week pada 2008 yang mewadahi para perancang mode Indonesia untuk menampilkan karya-karyanya, tak hanya di hadapan publik lokal tapi juga internasional. Event ini diharapkan menjadi pembuka jalan bagi dunia mode Indonesia agar dapat berkiprah di dunia mode dunia.

Seiring waktu, Femina menerbitkan “adik” dan “saudara” satu grup seperti Majalah Gadis (untuk remaja putri), Cita Cinta (untuk wanita dewasa awal), Dewi (untuk wanita usia matang 40-an ke atas), Ayahbunda (majalah untuk pedoman tumbuh kembang bayi)  dan beberapa majalah franchise.

Imbas Majalah Digital

Awalnya, Femina terbit mingguan. Tebal majalah bervariasi begitupun jenis kertas yang digunakan. Pada masa krisis moneter akhir 90-an sampai awal 2000-an, Femina terkena imbasnya, tampil lebih tipis dibandingkan sebelumnya.

Gempuran media online dan digital membuat oplah Femina makin menurun. Harus diakui, nampaknya majalah ini, juga media cetak pada umumnya, lamban melakukan antisipasi terhadap adanya perubahan besar industri media  yang sudah terjadi sejak 2 dekade lalu.

Femina Edisi Mei 2020
(source:ebook.gramedia)

Sejak 2017, Femina tak lagi terbit mingguan tapi 2 mingguan. Kemudian terbit bulanan dan tahun ini malah terbit tak tentu. Edisi terakhir Femina terbit pada November 2020 setelah edisi sebelumnya terbit pada Mei 2020. Nampaknya, kini Femina mengandalkan pembaca majalah online juga berinteraksi melalui media sosial seperti Instagram dengan mengadakan beberapa event rutin.

Walaupun memiliki lini online, nampaknya hal ini belum mampu mengangkat oplah jual Femina.  Hal ini berimbas pada keuangan perusahaan. Pada 2016, para karyawan Forum Komunikasi Karyawan Femina Grup mengadukan nasib mereka pada Lembaga Bantuan Hukum Pers. Mereka mengeluhkan gaji yang dicicil, awalnya 2 kali dengan perbandinga 50;50. Sampai pada Juli 2017, gaji mereka mulai tak jelas.  Terkadang gaji dicicil lebih dari dua kali, dengan skema persentase tak tentu. Bisa hanya 10:10:20 persen atau 40 persen, tetapi tidak pernah mencapai 100 persen lagi.

Femina Edisi November 2020
(source: twitter/Femina)


Femina masih berjuang untuk bertahan di tengah gempuran zaman juga preferensi pembaca yang lebih memilih media digital dengan alasan kepraktisan. Jika gagal, Femina akan mengikuti jejak majalah “saudara” nya Cita Cinta dan media franchise lain yang bernaung di grup yang sama. Kemudian, saya dan pembaca lainnya hanya akan mengenang Femina. Keberadaan majalahnya akan menjadi koleksi langka juga menjadi saksi akan pernah adanya majalah wanita berkelas yang menjadi teman tumbuh wanita Indonesia. (sebagian sumber dari kumparan.com)

 

 

 

Rabu, 11 November 2020

Nostalgia 3 Masakan Tradisional

Murah, sederhana, mudah dibuat dan tentu saja lezat. Masakan tradisional yang agak mustahil bakal jadi favorit anak generasi YouTube 

 1. Sayur Rebung (Iwung)

Foto: Dok Pribadi

Rebung adalah tunas muda yang tumbuh dari akar bambu. Teksturnya renyah dan aromanya khas. Orang Sunda menyebutnya iwung. Masa saya kecil, Mama terhitung sering memasak iwung di rumah. Iwung-nya lebar-lebar. Mama biasa memasak iwung dengan santan ditambah sedikit cabai. Yang saya ingat, aroma sayur iwung saat masih hangat. Haruum sekali. Menggugah nafsu makan. Seingat saya, hanya saya dan Mama yang suka makan sayur iwung. Sementara Papa dan adik saya tak begitu suka. 

Setelah merantau dan menikah, nyaris tak pernah saya memasak iwung. Saya pun melihat jenis iwung di perantauan lain dengan di kampung halaman. Iwung- nya kecil-kecil tidak selebar di tempat saya yang biasa dimasak Mama. Sebulan lalu, saya coba bernostalgia dengan memasak lagi sayur iwung itu. Karena doyan pedas, saya tambahkan lebih banyak cabai. Aromanya mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Mau coba resep sayur iwung ala saya? Bahan-bahannya hanya 2 siung bawang merah, 2 siung bawang putih, cabai rawit merah sesukanya, daun salam, daun serai digeprek, garam, santan. Jangan lupa rebungnya. Pilih yang muda agar teksturnya tidak keras. 
Foto: Dok Pribadi

2. Tumis Kulit Melinjo
Pertama kali mencoba masakan ini saat berkunjung ke kosan teman masa kuliah dulu. Teman saya bilang “jaket” karena bahannya diambil dari “jaket” atau kulit melinjo. Padahal waktu itu kulit melinjonya hanya ditumis saja tapi saya suka. Mungkin karena bumbunya pas, pedas pula. Kata teman saya, ini masakan murah meriah. Cocok dimasak kalau nggak punya duit  Benar ternyata, ketika saya merantau, masakan ini biasa saya buat kalau pas uang cekak. Murah hanya 5 ribu sebungkus. Dapatnya lumayan banyak haha.. Bahan-bahannya, cukup bawang merah, bawang putih, garam, daun salam, dan cabai rawit kalau ingin rasa pedas. Bumbunya bisa diulek dulu atau langsung ditumis saja. 

 3. Tumis terubuk
Terubuk atau trubus sesungguhnya adalah bunga tebu. Di Jawa Barat biasa disebut turubuk. Teksturnya mirip dengan telur ikan. Terubuk yang biasa dimakan adalah yang berusia sekitar 5 bulan. Bagian yang dipanen adalah bagian 'malai' yang masih muda sedangkan yang dikonsumsi adalah bagian bunga yang terbungkus dengan pelepah daun atau dikenal dengan istilah kelobot

Terubuk biasa dimakan dalam bentuk mentah sebagai lalaban, dikukus atau ditumis atau menjadi sayur lodeh. Kadang sebagai campuran kare atau sayur asem. Masa saya kecil, terubuk biasa dimasak dengan ditumis saja. Entah kenapa, tumis terubuk buatan Mama rasanya super enak. Bumbunya pas. Yang paling saya ingat, saat menyantap tumis terubuk hangat saat sahur. Hmmm … Bikin semangat makan sahur. Bahan-bahan tumis terubuk: bawang merah, bawang putih, cabai rawit, tomat, garam.

Senin, 09 November 2020

Lagi- Lagi Video Tak Senonoh..

 

Untuk ke sekian kalinya, sebuah video yang memerlihatkan adegan intim beredar di media sosial. Yang menghebohkan, pelakunya adalah seorang wanita yang katanya mirip artis cantik GA dengan seorang pria bertubuh kekar entah siapa. Ada yang menduga, si pria dalam video berdurasi 19 detik itu adalah manager si artis, ada juga yang menyangka kalau pria tersebut salah satu pemain band pengiringnya. GA sendiri memberikan jawaban mengambang, tak mengiyakan atau menolak kalau wanita dalam video itu adalah dirinya. Sementara pria yang diduga ada dalam video sudah mengklarifikasi kalau itu bukan dirinya. Belum habis kehebohan publik, muncul lagi video sejenis yang juga menampilkan seorang wanita mirip artis.  Belum ada klarifikasi yang bersangkutan terkait video ini.

Dua peristiwa ini mengingatkan publik pada hal serupa yang terjadi belasan tahun ke belakang. Saat itu, video asusila seorang vokalis band besar dengan 2 wanita berbeda tersebar. Ada pihak yang mengaku walaupun ada pula yang sampai sekarang tak mengakui itu dirinya. Apapun, publik tetap menghujat dan mencaci maki terutama karena salah satu pelaku telah berkeluarga.

Harga yang harus dibayar amat lah mahal. Selain harus mendekam di balik jeruji besi dengan tuduhan telah lalai menyimpan video tak senonoh, mereka pun mendapat sangsi sosial. Banyak kontrak iklan dan pekerjaan dibatalkan dan diputus di tengah jalan, program TV yang memajang mereka memutus kontrak sepihak selain tentu saja menanggung malu. Perlu bertahun-tahun bagi mereka untuk kembali ke dunia hiburan dan tampil lagi di depan kamera dengan karir yang mungkin tak secemerlang sebelumnya.

Tersebarnya adegan intim yang dilakukan publik figur sebenarnya acapkali terjadi. Sebelum tahun  2000-an tersebar video singkat yang memerlihatkan seorang wanita mirip artis almarhumah Euis Sukma Ayu. Euis, putri artis senior Nani Wijaya, yang saat itu sedang naik daun, tak mengakui kalau itu dirinya. Euis terhitung “beruntung” karena masa itu belum ada media sosial begitupun handphone belum banyak dimiliki orang. Pemberitaan tentang Euis lebih banyak muncul di televisi dan koran-koran gosip. Namun tetap saja hal ini memengaruhi karir Euis di dunia hiburan.

Untuk Konsumsi Pribadi?

Sebenarnya sudah bukan rahasia lagi jika dunia selebriti lekat dengan pergaulan bebas. Saya yakin, yang biasa melakukan hubungan intim dengan pasangan walaupun belum menikah tak hanya dilakukan oleh para artis yang videonya tersebar itu. Boleh dibilang, mereka ini hanya sedang “sial” saja karena video pribadi mereka tersebar (atau disebarkan) ke publik. Ini terjadi bisa karena yang bersangkutan lalai hingga video itu bocor ke pihak lain atau bisa jadi gadget atau alat penyimpan video hilang dan jatuh ke tangan orang yang tak bertanggungjawab.

Saya sendiri tak paham mengapa adegan intim harus divideokan. Apakah sekedar untuk “dokumentasi” atau memang sengaja direkam untuk jadi konsumsi pribadi yang bisa ditonton berkali-kali? Semua memang hak dan jadi tanggungjawab masing-masing orang. Namun menjadi masalah jika video itu tersebar lalu ditonton publik termasuk anak-anak di bawah umur. Apalagi saat ini, dengan mudahnya foto atau video tersebar tanpa bisa kita cegah. yan

Kontrolnya ada di diri kita. Jika kita tanpa sengaja menerima kiriman video macam itu, stop sampai di kita saja tak perlu disebarkan. Tak perlu juga menghujat sampai sengaja ikut berkomentar di akun media sosial si artis. Kita jadi salah jika ikut mengumpat dan berkata kasar. Konsekuensi atas apa yang telah dilakukan, biarlah jadi tanggungan masing-masing individu. Dosa tidak berdosa itu urusannya dengan Tuhan. Jadilah penyimak atau jika bisa pengkritik yang baik saja.

 

 

 

 

 

 

 



                                                                                                                     

Minggu, 08 November 2020

Mengenang Awal Pandemi

 

source: katadata.com

Semua terjadi begitu cepat. Hari itu, Sabtu 14 Maret 2020, saya masih bepergian dengan kereta untuk mengawas ujian TOEFL. Anak saya masih ke sekolah untuk latihan persiapan lomba Pramuka esok harinya. Namun situasi memang sudah nampak tak biasa. Di stasiun, saya melihat sudah mulai banyak orang memakai masker. Saya pun begitu, memakai masker walaupun masih buka tutup.

Malamnya, televisi menyiarkan kabar tentang salah satu Menteri yang terkena covid 19. Grup WA para orang tua murid yang anak-anaknya hendak ikut lomba esok harinya mulai ramai dengan ungkapan kekhawatiran. Mempertanyakan bagaimana keamanan anak-anak selama lomba nantinya, siapa saja yang akan mendampingi dan seterusnya. Puncaknya, jelang malam ada beberapa orang tua yang menyatakan anaknya mengundurkan diri dari lomba karena mempertimbangkan resiko.

Akhirnya, jelang tengah malam sekolah memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan ini disesali beberapa orang tua yang masih ingin lomba terus berlanjut. Orang tua lain, termasuk saya, kebingungan menyampaikan pada anak-anak  yang sudah tertidur pulas tentang pembatalan ini. Terbayang betapa kecewanya mereka saat di pagi hari bangun, lalu tak jadi pergi karena batal. Padahal, mereka semua sudah sangat bersemangat dan tak sabar sampai-sampai semua perlengkapan termasuk sepatu sudah disiapkan benar untuk besok hari. Saya ingat, anak saya belum tidur karena tak sabar ikut lomba esok harinya. Dia menangis saat tahu sekolah tak jadi ikut lomba yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

Dilanda Bosan

Setelah itu, mulailah hari-hari panjang di dalam rumah. Minggu-minggu pertama, anak-anak sangat antusias setiap kali mengikuti meeting online, merasa kangennya sedikit terobati. Sekolah juga masih gagap menghadapi situasi mendadak ini. Belum ada variasi pembelajaran. Orang tua juga masih beradaptasi. Banyak yang gagap teknologi, tak familiar dengan aplikasi-aplikasi yang dipakai anak untuk belajar online. Grup ramai dengan curhat dan pertanyaan orang tua yang kesulitan menggunakan aplikasi-aplikasi itu.

Setelah 3 minggu, rasa bosan mulai melanda. Rasanya cukup tersiksa harus tinggal di rumah padahal biasanya bisa beraktivitas bebas di luar rumah. Waktu itu, belum ada kajian-kajian atau pelatihan online jadi memang betul-betul hanya sibuk dengan aktivitas rumah saja. Saya keluar rumah hanya seminggu sekali untuk belanja stok makanan. Tukang jualan yang biasanya lewat ke kompleks rumah juga dilarang. Benar-benar dibatasi. Anak saya lebih banyak disibukkan dengan tugas-tugas sekolah. Sebagai pengobat kangen, guru kelasnya sering mengadakan challenge yang akan di-upload di status WA nya. Misalnya tantangan mengulek sambal atau memarut kelapa.

Paling terasa sepinya saat bulan puasa. Kalau biasanya kami bisa taraweh dan ngabuburit , kini tidak lagi. Sedih rasanya melihat mesjid gelap dan sepi. Kami pun hanya beribadah di rumah. Tidak ada lagi acara buka bersama. Bahkan saya sama sekali tidak ke rumah mertua atau rumah adik selama awal pandemi walaupun kami masih tinggal di kota yang sama. Kami lebih banyak berkomunikasi lewat video call atau WA. Tapi saat itu sudah mulai banyak kajian via aplikasi meeting online atau di channel YouTube. Lumayan jadi aktivitas baru untuk saya yang tak lagi bisa bepergian untuk menuntut ilmu. 

Oh ya, selama bulan puasa, acara TV yang selalu saya tonton dengan anak adalah Tukang Ojek Pengkolan yang syutingnya tak lagi di luar ruangan tapi di studio. Walaupun bukan penggemar berat, tapi itu lah tontonan yang bisa kami tonton jelang magrib dan setelah magrib. Nggak ada lagi tontonan yang lumayan soalnya.

Hikmah Awal Pandemi

Pasti selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Walaupun merasa bosan, tapi saya merasa  jadi lebih dekat dengan keluarga terutama dengan anak. Kalau biasanya kami sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri, selama awal pandemi kami jadi banyak beraktivitas bersama. Saya jadi sering ngobrol banyak dengan anak termasuk soal nostalgia masa saya kecil dan sekolah. Malah kayaknya stok cerita saya sudah mulai habis saking seringnya saya bercerita haha..

Selama Ramadhan, saya pun merasa lebih khusyu. Biasanya ada hari- hari saat kami sibuk dengan acara buka bersama dan sebagainya. Rasanya waktu buka bersama malah tak banyak. Saat pandemi itu, setiap hari kami bisa buka bersama di rumah walaupun lebih sering saya berdua anak saja.Begitu pun amaliyah harian, bisa lebih ter-upgrade karena tak banyak keluar rumah.

Walaupun sedih tak bisa pulang kampung saat Lebaran, tapi kejadian ini membuat saya makin menyadari betapa  berharganya waktu bersama keluarga itu. Saat Allah mengambil keleluasaan bepergian untuk bertemu dan beraktivitas, baru lah terasa nampaknya saya kurang menghargai kebersamaan itu karena menganggap hal itu biasa saja.

Tak terasa, 8 bulan sudah kita mengalami pandemi. Aktivitas sudah mulai berangsur normal dan kita mulai terbiasa dengan aktivitas dalam rumah. Tentu saja, kami kangen sekali dengan aktivitas kami yang dulu. Anak saya malah sudah sering bilang ingin kembali ke sekolah. Entahlah.. Melihat kondisi saat ini, saya sampai berpikir jangan- jangan sekolah pun baru buka awal tahun ajaran baru tahun depan. Itu artinya, anak saya tak lagi bisa kembali ke sekolah karena sudah keburu lulus! Duh.. sedih juga membayangkannya. Semoga tidak terjadi..

 

Jumat, 06 November 2020

Yang KW Yang (Tak) Terkenal

 

Jagat maya sedang dihebohkan oleh seorang remaja 19 tahun, penjual bakso di Bekasi Timur Jawa Barat yang katanya mirip Raffi Ahmad muda. Seorang pembeli mengunggah video yang memerlihatkannya sedang berjualan. Menjadi viral, Dimas Ramadhan, pemuda yang mirip Raffi muda itu, kemudian dijemput tim Rans Entertainment untuk dipertemukan langsung dengan Raffi Ahmaad di rumah pribadinya. Bagai ketiban pulung, Dimas mengaku serasa bermimpi bisa bertemu dengan artis terkenal bahkan bisa masuk rumahnya. Dimas dihadiahi sepatu mahal Raffi dan dijanjikan untuk dibiayai kuliahnya. Yang membuatnya tak kalah senang, sejak video tentang dirinya viral, omset jualan bakso milik ayah Dimas ikut naik.

Selain Dimas, ada pula Affief yang katanya mirip artis muda Rizky Billiar.  Walaupun tak seheboh Dimas, Affief mengaku memang banyak yang bilang kalau dia mirip artis yang sedang naik daun itu. Secara khusus, Affief tak pernah diundang langsung oleh Rizky untuk bertemu, “Hanya pernah kolaborasi untuk TikTok saja.” aku Affief pada reporter sebuah acara TV.


Source: VOA Indonesia


Imitasi Publik Figur

Satu hal yang wajar ketika seorang fans mengimitasi tokoh idolanya. Umumnya fans mengimitasi gaya berbusana, gaya berbicara atau ekspresi khusus tokoh yang disukainya itu. Teman saya pernah bercerita, kakak laki-lakinya sangat suka pada Kaka Slank. Sampai-sampai ia sengaja membuat gigi depannya patah sedikit biar makin mirip Kaka! Saat itu, Kaka memang punya gigi seperti itu dan belum serapi sekarang. Untunglah kakak teman saya itu tak ikutan nge-drugs seperti Kaka!

Banyak orang di dunia yang mengikuti gaya dan busana King of Pop Michael Jackosn, Elvis Presley atau penyanyi Reggae Bob Marley. Di Indonesia, gaya dan busana Rhoma Irama nampaknya juga banyak ditiru. Tak masalah jika harus mengeluarkan uang demi memiripkan diri dengan sang idola. Soal beneran mirip atau tidak, itu nomor dua. Yang penting usaha!

Bertahun lalu bahkan pernah ada program TV yang khusus mencari dan menampilkan orang-orang yang mirip publik figur tertentu. Program bertajuk Asal alias Asli Tapi Palsu itu mengundang 3 orang yang dianggap paling mirip dan bertemu langsung dengan publik figur aslinya. Mereka akan diminta melakukan hal yang biasa dilakukan si publik figur misalnya menyanyi atau akting. Yang bikin geli,tak selalu yang diundang mirip banget ternyata. Palingan mirip kalau dilihat sekilas. Program TV dengan host almarhum Taufik Savalas ini sempat sangat disukai saat itu. Acara ini pernah di-remake tapi nampaknya tak sesukses sebelumnya.

Bagi yang memiliki paras wajah seperti orang terkenal, bisa jadi itu bagai sebuah anugerah. Tak perlu bersusah payah meniru, mereka sudah mirip dari sono-nya. Tinggal dipoles sedikit saja bisa lebih mirip lagi.  Komedian Jarwo Kuat misalnya mulai dikenal karena konon mirip mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia pun bisa meniru gaya berbicara beliau. Banyak pula yang mengaku atau diakui mirip komedian Sule. Ada juga Ilham Anas, pria berdarah Minang yang mirip Barack Obama.

Sama-sama Terkenal?

Banyaknya orang “biasa” yang mirip publik figur kini makin mudah dikenali karena bantuan teknologi. Jika ada yang mengunggah video atau foto lewat media sosial, seketika ia bisa menjadi viral. Namun apakah kemiripan itu membawa keberuntungan yang sama seperti publik figur yang dimiripinya, itu soal lain. Kembali ke niat dan mungkin juga keberuntungan. Ada yang memang memanfaatkan kemiripan dirinya itu untuk mendulang rupiah dan merintis karir di dunia hiburan, ada pula yang sekedar merasa senang saja tanpa berniat memanfaatkan situasi.

Salah satu yang memanfaatkan momen kesukaan orang pada kemiripannya  dengan publik figur misalnya Jarwo Kuat. Jika awalnya ia sering diminta jadi Pak Kalla gadungan, kini Jarwo lebih sering berperan sebagai komedian. Karirnya pun terhitung lumayan. Ada pula yang mengaku mirip Sule bahkan mengikuti gaya rambut komedian asal Jawa Barat itu. Sempat membintangi sinetron dan iklan tapi nampaknya karir Sule KW ini tak terlalu moncer.

Kisah cukup menarik terjadi pada Ilham yang mirip benar dengan Mantan Presiden Amerika Barack Obama. Sejak pelantikan Obama menjadi Presiden Amerika beberapa tahun ke belakang, Ilham mulai dikenal. Tak tanggung-tanggung, berkat kemiripannya itu ia ditawari main film hingga ke negeri Cina. Ilham bahkan bisa melanglangbuana ke berbagai negara sebagai Obama palsu dengan menjadi bintang iklan, menjalani proyek film, iklan dan menghadiri peluncuran berbagai produk.  Mengaku sebagai Obama KW Super, Ilham bahkan seringkali dikira Obama saat sedang berjalan-jalan. Tak heran, ia pun laris manis diajak berfoto. Setelah Obama lengser, tawaran untuk menjadi Obama KW tak lagi ramai walaupun kata Ilham ia tetap optimis karirnya tetap bisa berjalan baik.

Punya wajah dan perawakan mirip publik figur adalah pemberian yang Maha Kuasa. Jika mau memanfaatkan itu sebagai cara mengais rezeki, tentu syah-syah saja. Namun sebagaimana seharusnya, menjadi seorang (yang mirip) publik figur hendaknya tak lantas menghilangkan identitas pribadi apalagi jadi tinggi hati. Kalau ternyata bisa seterkenal dan rezekinya selancar tokoh yang dimiripi, syukurilah. Jadi ketika orang tak lagi mengenal sebagai si KW, kita tak perlu merasa terlalu kecewa.

 

 

Selasa, 03 November 2020

Parade Kemewahan Di Layar Kita

 

Source; 99.co

Welcome to my family room!” tukas wanita itu sambil merentangkan tangannya. Di layar nampak kolam renang nan asri dan luas. Host muda yang hari itu berkunjung ke rumahnya terbelalak, “Oh man! This is a resort!” serunya setengah berteriak. Sejak awal ia memang sudah nampak takjub melihat rumah luas dan mewah wanita itu: kamar pribadi yang super luas bak hotel juga ruangan bertaburan benda-benda pajangan mewah dan artistik. Obrolan lalu berlanjut santai di kolam renang si wanita. Sambil merendam kaki dan menghirup shissa-rokok ala Timur Tengah-, mereka ngobrol hal-hal ringan sambil sesekali tertawa bersama.

****

Selain nge-prank, salah satu konten channel YouTube yang juga marak adalah berkunjung ke rumah selebriti. Biasanya pemilik channel, umumnya selebriti juga, akan bertamu sambil melakukan “house tour´ dari bagian depan sampai dapur. Tak lupa, host akan melongok garasi sang bintang yang umumnya berisi kendaraan roda dua dan roda empat mahal milik mereka. Jumlahnya seringkali tak hanya satu bahkan ada yang berjejer tak ubahnya di showroom saja.

Program macam ini awalnya muncul di MTV pada tahun 2000-an. MTV Cribs, demikian nama program acara itu, menampilkan tur ke rumah pribadi para selebriti. Acara TV ini mencapai ratusan episode dan telah menampilkan banyak selebritis mulai dari aktor sampai atlet terkenal. MTV Indonesia kemudian mengadaptasinya menjadi MTV Rumah Gue yang tayang tahun 2000an. Kini, acara sejenis yang secara khusus membahas rumah selebritis nampaknya sudah tidak ada. Hanya kadang, ada acara TV yang menyelipkan house tour rumah selebriti sekedar sebagai bahan berita saja.

Entah terinspirasi oleh acara MTV itu atau bukan, banyak konten YouTube yang menampilkan hal serupa. Dan nampaknya, para penonton menyukainya. Kita pun pasti kepo ya ingin tahu rumah para selebritis apalagi jika yang dikunjungi adalah seleb favorit. Tentu kita penasaran bagaimana isi rumahnya, apa yang biasa ia lakukan di kamar pribadinya, bagaimana kesehariannya dan menyimak soal hal-hal pribadi lain yang belum kita tahu.

Namun sebagaimana halnya sebuah tontonan, konten seperti ini tentu ada plus minusnya. Menonton rumah mewah dan luas selebiritis bisa saja hanya sebagai hiburan. Berita apapun tentang orang terkenal memang selalu menarik untuk disimak apalagi tentang hal-hal privat mereka. Melalui rumah itu, kita bisa menilai sekilas karakter si empunya rumah. Ada yang rumahnya mentereng penuh sesak barang, ada yang berumah luas tapi bertipe minimalis elegan, ada yang meluaskan kamar pribadi karena suka ngendon di kamar, ada yang suka masak hingga dapur dibuat bikin betah.

Minusnya tentu saja jika konten ditonton kaum menengah ke bawah yang melihat itu tak hanya tontonan tapi juga sumber khayalan. Lalu sebagai penonton kita ikutan membayangkan andaikan punya rumah seluas dan sebagus mereka. Saat melihat kenyataan, kita sedih dan menyesali kenapa tak bisa punya rumah seperti itu. Banyak yang lantas terobsesi ingin jadi selebriti walaupun harus melakukan berbagai cara. Apalagi jika host sekedar menampilkan kemewahan namun tak mengorek bagaimana perjuangan sang bintang sampai punya rumah semewah itu.

Menarik ketika saya menonton house tour rumah Inul Daratsista yang dipandu dua host kondang, Irfan Hakim dan Indra Herlambang. Dalam program itu, ada obrolan tentang perjuangan Inul yang rela hidup prihatin 3 tahun lamanya demi membayar cicilan rumah yang jumlahnya ratusan juta sebulan. Selipan obrolan seperti ini mungkin bisa membuat konten terasa lebih membumi. Nyatanya para selebriti ini memang tak selalu memeroleh rumah idaman dengan mudah. Perlu kerja keras dan perjalanan panjang untuk mendapatkan rumah impian.

Perlu usaha dari pembuat konten agar tontonan tak sekedar jadi tontonan namun ada selipan hikmahnya. Begitupun kita sebagai penonton hendaknya bisa lebih bijak. Menonton ya menonton saja sekedar hiburan di waktu senggang. Tapi jangan lupa, tetaplah berpijak ke bumi. Apapun pasti ada pengorbanan besar hingga para selebriti itu bisa memiliki rumah mewah macam itu. Belum tentu kita sanggup bekerja sekeras mereka. Dengan begitu, kita tetap terhibur namun juga tetap bersyukur.

  



Sabtu, 31 Oktober 2020

Mandul Yang Sebenarnya

Memiliki banyak anak nampaknya menjadi simbol prestise bagi sebagian orang. Ada kebanggaan tersendiri ketika mampu memiliki anak berderet apalagi jika semua sukses. Selain itu, memiliki banyak anak juga dipercaya menjadi sumber rezeki.  Makin banyak anak, makin banyak pintu rezeki yang Allah bukakan untuk orang tuanya. 

Terdapat pula hadist yang berbunyi: “Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasuallah SAW bersabda:  “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak(subur) karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain”(HR.Abu Dawud). Hadist ini kemudian menjadi “pedoman” bagi sebagian kita untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya.

Tak ada yang salah dengan keinginan untuk memiliki anak banyak. Apalagi jika diniatkan kalau anak-anak itu menjadi penerus estafet dakwah untuk menegakkan dinul islam di masa depan. Namun hendaknya, keinginan itu tak hanya untuk memiliki anak banyak secara kuantitas namun melupakan kualitasnya.

Anak lahir diikuti kewajiban atas kita orang tuanya. Ia wajib kita didik, asuh dan berikan kehidupan yang layak. Ia bukan makhluk yang bisa kita lepas begitu saja, membiarkan mereka tumbuh sendiri mengikuti nasib. Jika mereka jadi anak-anak baik kita bersyukur, tapi jika tidak kita hanya bersedih. Kita tak punya andil sama sekali pada baik buruknya akhlak mereka.

Betapa banyak orang tua yang punya banyak anak namun anak-anak itu tak mampu menjadi quratta a’yun atau penyejuk hati. Saat ingin menikmati masa senja, bukan kedamaian yang diperoleh orang tua tapi justru beban pikiran karena ulah buruk anak-anak mereka. Ada orang tua yang sudah sakit-sakitan dan memiliki anak banyak namun tak satu pun anak yang mau telaten mengurusi. Ironisnya, ada orang tua yang Allah takdirkan tak punya anak namun memiliki “anak-anak” –entah keponakan atau anak angkat- yang begitu sayang dan peduli melebihi cinta seorang anak kandung.

Janganlah berkecil hati jika Allah takdirkan kita “hanya” memiliki sedikit anak. Satu, dua, sepuluh anak tidaklah menjadi penentu baik buruknya kita di mata Allah. Selama kita telah menunaikan tanggungjawab sebagai orang tua, tentu Alllah tak mengabaikan itu semua. Bersedihlah ketika kita memiliki anak (-anak) yang tak mampu kita didik menjadi anak-anak sholeh dan sholehah, yang saat kita meninggal tidak bisa mendoakan karena kebodohan mereka akan agama, yang malah sibuk memerebutkan harta warisan ketimbang memikirkan bagaimana berbakti kepada orang tuanya. Punya anak tapi bagai tak punya anak. Itulah mandul yang sebenarnya.

 

Jumat, 23 Oktober 2020

Atlet Menoreh Sejarah (1) Pelari Kulit Hitam Yang Permalukan Hitler

 

 Jesse Owens 
(source:blackhistorymonth.org.uk)

Pada 1931, International Olympic Committee (IOC) menyerahkan penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas 1936 ke Berlin- Jerman sebagai simbol kembalinya negara itu untuk masyarakat dunia paska kekalahan di Perang Dunia I . Namun, tak lama setelah mengambil alih kekuasaan sebagai Kanselir Jerman, Adolf Hitler menjadikan Olimpiade Musim Panas dan Musim Dingin tahun 1936 sebagai propaganda superioritas ras Arya dan legitimasi partai Nazi. Olimpiade ini juga pertama kali diliput televisi hingga dapat disaksikan di seluruh dunia. Untuk itu, Hitler tak segan menyediakan dana yang besar agar Olimpiade Berlin menjadi Olimpiade modern terbesar.

Alih-alih menjadi kompetisi yang menyatukan banyak ras dan budaya, pada April 1934 Hitler malah melarang orang Yahudi dan kulit hitam mengikuti ajang olahraga internasional itu, termasuk melarang atlet Olimpiade lompat tinggi Jerman, Gretel Bergmann, yang berkulit gelap turut serta.  Saat Olimpiade resmi dibuka pada 1 Agustus 1936, ada 18 atlet Afrika-Amerika yang berkompetisi saat itu termasuk Jesse Owens, yang berdarah Afrika-Amerika.

Tak disangka, Owens sukses besar dengan menyabet 4 medali emas. Pada nomor bergengsi lari 100 meter yang juga disaksikan langsung oleh Hitler, Owens menyabet gelar juara dengan catatan waktu 10,3 detik. Pada nomor 200 meter, ia memecahkan rekor dunia dengan 20,7 detik.  Di nomor estafet 400 meter, Owens dan kawan-kawannya pun sukses meraih emas. Pada nomor lompat jauh, Owens bahkan mengalahkan atlet Jerman, Luz Long. Rekor tersebut tak terpecahkan selama 25 tahun.

Prestasi Owens tentu saja merupakan tamparan keras bagi Hitler sekaligus mematahkan supremasi atlet-atlet kulit putih Jerman. Setelah Owens memenangkan medali pertamanya, Hitler tidak memberikan selamat kepadanya dan hanya berjabat tangan dengan atlet peraih emas dari Jerman.  Owens dan para atlet Olimpiade Afrika-Amerika lainnya diremehkan oleh sebuah surat kabar Nazi yang melabeli mereka sebagai "pembantu hitam" dari tim Amerika.

Meski tak mendapat ucapan selamat langsung dari Hitler, selama di Jerman Owens mendapat perlakuan yang sama dengan tim atau atlet berkulit putih. Ironisnya, saat kembali ke Amerika, Owens sama sekali tidak mendapat penghormatan layaknya pemenang Olimpiade, tidak diundang ke Gedung Putih dan tidak diberikan penghargaan sebagaimana atlet kulit putih lainnya oleh Presiden Franklin D. Roosevelt. Padahal, dari total 11 emas yang diperoleh Amerika saat itu, 6 di antaranya disumbangkan oleh para atlet kulit hitam.

Setelah keikutsertaannya dalam Olimpiade Berlin, Owens penisun dari profesi atletnya dan memilih untuk memanfaatkan kemampuan fisiknya untuk mencari uang. Ia “berlomba” dengan mobil dan kuda untuk memperlihatkan kecepatan larinya. Owens lalu menemukan passion-nya dalam bidang public relations dan marketing. Ia menekuni bisnisnya di Chicago Illinois dan acapkali menjadi pembicara dalam beragam pertemuan bisnis di berbagai belahan dunia.

Owens meninggal pada 31 Maret 1980 karena kanker paru-paru. Film tentangnya dibuat pada 2016 berdasarkan hasil konsultasi dengan ke-tiga putri Owens. Film berjudul Race itu dibintangi Stephan James yang berperan sebagai Jesse Owens.

Sumber: kumparan.com, biography.com

 

Selasa, 30 Juni 2020

Seteru Tak Berujung, Cebong Versus Kampret


Hayooo.. udah di-unfollow belum?” isi status seorang teman di akun sosial medianya. Saya bertanya-tanya, meng-unfollow siapakah? Belakangan saya baru ngeh kalau yang dimaksud adalah berhenti mengikuti akun sosial media seorang publik figur yang selama ini dikenal dengan aktivitas sosialnya. Beberapa hari lalu, si public figur mengunggah fotonya dengan Pak Presiden dengan caption puja-puji, “Aku kecewa.... ternyata dia cebong.” komentar orang-orang di status teman saya itu. Ternyata, itu maksudnya. Meng-unfollow karena sang idola ternyata pengagum tokoh yang bukan tokoh dukungannya.

Masih Berlanjut?
Tadinya, saya berpikir kalau perseteruan kecebong- sebutan untuk pendukung nomor 01 Jokowi dan kampret- sebutan untuk pendukung nomor 02 Prabowo di Pilpres lalu akan berakhir setelah pesta demokrasi itu usai. Ternyata tidak. Media sosial tetap ramai dengan para pendukung masing-masing (calon) presiden yang seperti tak lelah saling hujat, saling jelek menjelekkan.
Setiap kali pemerintah membuat sebuah kebijakan atau ada kejadian apapun yang berhubungan dengan pemerintahan saat ini, netizen nonpendukung 01 akan ramai mengomentari. Jika sudah begitu, pendukung Pak Pres akan balik membalas dengan tak kalah nyinyirnya.  Belum lagi jika buzzer, konon dibayar untuk menaikkan dan menjaga citra tokoh dukungannya, juga ikut menjelekkan tokoh yang dianggap bersebrangan dengan dukungannya itu.  Rasanya dunia maya makin hiruk pikuk saja.

Pilihan Pribadi
Tentu saya pun punya pilihan saat Pilpres lalu. Ketika jagoan saya tidak menang, rasa kecewa pasti ada. Satu hal, saya tidak lantas menjadi orang yang selalu menganggap apa yang dilakukan pemerintah itu buruk atau sebaliknya.  Saya mencoba untuk tetap subjektif: mengkritik di media sosial jika memang saya merasa perlu diperbaiki dan dikritisi, jika baik ya saya apresiasi. Setidaknya saya tidak berkomentar yang tak perlu. Apalagi jika saya tak terlalu paham duduk perkaranya.
Teman-teman saya di media sosial juga bermacam-macam dan sudah pasti tak selalu satu dukungan dengan saya. Buat saya, itu tak masalah. Selama mereka tidak menjelekkan siapapun, tidak menyerang fisik seseorang atau sesama pendukung dan tidak mengungkit isu SARA, buat saya syah-syah saja jika mereka memuja-muji orang yang didukungnya. Walaupun mungkin bagi saya terkesan berlebihan dan sangat subjektif, tapi memang begitu kan sikap kita pada idola pada umumnya? Saya pun pasti akan cenderung mengunggah sisi-sisi positif saja dari tokoh atau idola saya itu.

Soal Pribadi
Kembali ke soal artis sekaligus YouTuber yang mendadak di-unfollow banyak orang karena unggahannya itu, kenapa harus begitu? Jika memang ia pendukung salah satu, lalu menulis caption penuh pujian, apa salahnya? Pujiannya terkesan berlebihan dan nggak sesuai kenyataan? Ya sudah.. Wajar rasanya seseorang memuji orang yang ia idolakan.
Secara pribadi, saya melihat dia bukan artis bermasalah. Setidaknya, isi kontennya positif, bahkan menginspirasi banyak orang untuk banyak beramal seperti dirinya. “Kesalahan” nya hanya satu: menjadi pendukung dan memuji seseorang yang kebetulan bukan orang yang banyak netizen idolakan-setidaknya netizen yang selama ini sudah kadung mem-follow dan menyukainya.
Mau meng-unfollow dia? Ya silahkan saja. Kebetulan saya memang tak punya akun instagram jadi memang tak bisa meng-unfollow siapapun haha..  Hanya saja, saya lebih suka menempatkan semua pada tempatnya. Jika teman saya pendukung seseorang yang berbeda dengan saya, namun secara pribadi dia baik, saya memilih tetap berteman dengannya no matter what. Kecuali, seperti saya bilang tadi, dia sudah menyinggung dengan menjelekkan fisik dan SARA, tanpa diminta pun saya akan memilih untuk meng-unfriend atau mejaga jarak saja dengannya dalam kehidupan nyata.